Latest Post

Kekuatan Finansial (Quwwatul Maal), Bagian ke-4

C. Jihad Harta Upaya Perimbangan Dalam Menghadapi Musuh Dakwah

التوازن في مواجهة الاعداء

Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, jihad dengan harta merupakan jihad yang melengkapi bentuk jihad lainnya. Dengan demikian, segala bentuk jihad Islam pasti memerlukan jihad harta ini. Di sinilah peranannya yang sangat vital untuk mensukseskan misi-misi jihad lainnya. Tanpa ditunjang harta, jihad lainnya akan terhambat ataupun tidak mustahil menemui kegagalan.

Dr. Said Hawwa dalam bukunya Jundullah menulis tentang jihad harta ini,

“Sebenarnya jihad dengan harta (jihad bil-mal) ini merupakan bagian vital dari jihad-jihad yang lain. Risalah dakwah tidak akan berjalan dengan sempurna tanpa adanya bantuan logistik dan dana yang kuat, lebih-lebih ketika sedang mempersiapkan kekuatan dalam rangka menghadang kekuatan musuh. Setiap gerak dakwah tidak bisa terlepas dari masalah dana, sebab dalam pelaksanaannya, dakwah memerlukan sarana dan prasarana, apalagi untuk berdakwah di zaman sekarang ini.

Jihad lisan memerlukan banyak dana guna mencetak buku, surat kabar, pamflet, majalah, dan sebagainya, sedangkan jihad pendidikan memerlukan banyak dana untuk membiayai pembentukan lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran representatif yang ditunjang peralatan secara memadai serta tenaga-tenaga pendidik yang profesional.

Jihad fisik dengan berbagai macamnya memerlukan banyak dana untuk pengadaan senjata, peralatan tempur yang canggih, logistik, dan biaya tunjangan untuk para syuhada. Jadi jelaslah, jihad yang tidak didukung oleh kekuatan dana yang memadai akan mengalami berbagai kegagalan. Oleh karena itu, dalam berbagai ayat Al-Qur’an, Allah SWT mengaitkan jihad dengan harta dalam suatu rangkaian kalimat”

Untuk melaksanakan jihad dengan harta ini, seorang muslim yang telah memenuhi syarat untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah, harus mengeluarkannya sebagaimana yang telah diperintahkan Islam, baik di medan dakwah, pendidikan, politik, sosial, peperangan, dan medan jihad lainnya. Berikut ini akan dinukilkan beberapa pendapat ulama tentang masalah ini, terutama yang sering dilupakan/dilalaikan kaum muslimin.

Di sini tidak dibahas bentuk-bentuk pembelanjaan, seperti membangun masjid, madrasah, menyantuni fakir miskin, membiayai peperangan, dan hal-hal yang sudah umum diketahui masyarakat, namun beberapa hal yang kurang disentuh, bahkan sering ditelantarkan karena salah pengertian.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqhuz-Zakah menulis tentang beberapa bentuk jihad masa kini yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut

Mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam yang representatif di negara Islam, sebagai pusat ta’lim dan tarbiyah bagi generasi muda Islam, menyampaikan/mengajarkan ajaran Islam secara sharih ‘jelas’ dan benar, membentengi aqidah dari bahaya kemusyrikan dan kekufuran, memelihara kemurnian pola pikir islami agar tidak tergelincir, serta mempersiapkan diri untuk membela Islam dan menghalau musuh-musuhnya.

Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan penyiaran dakwah Islam ke luar (non muslim) di semua benua, terutama yang sedang berkecamuk dalam berbagai macam pergolakan pemikiran dan ideologi.

Mendirikan unit usaha di bidang percetakan, baik berupa surat kabar, majalah tabloid, maupun brosur-brosur, untuk menangkis berita-berita dari luar yang merusak dan memutarbalikkan fakta kebenaran Islam, membuka tabir kebohongan musuh-musuh Islam, serta menjelaskan Islam yang sebenarnya.

Termasuk di dalamnya adalah penyebaran buku-buku Islam dari penulis-penulis Islam yang bersih, yang mampu menyebarkan ide/pikiran Islam dan membangkitkan semangat umat Islam, yang mampu mengungkap mutiara-mutiara Islam yang selama ini tertutupi oleh derasnya buku-buku Islam karya para orientalis, islamolog-islamolog Barat dan Timur yang kafir. Untuk semua itu, diperlukan tenaga-tenaga tangguh, berdedikasi, jujur, amanah, beridealisme dan bercita-cita tinggi, ber-iltizam pada manhaj Islam, bekerja penuh perhitungan, dan ikhlas karena Allah semata.

Dr. Said Hawwa menulis dalam bukunya Kai lam Namdhi Baidan an Ihtiyajat al-Ashr,
“Sebagai konklusi dari banyak ukuran syariat, saya berpendapat bahwa sekarang ini dibenarkan memberikan zakat kepada lima kelompok dengan tetap menjaga pelaksanaan-pelaksanaan zakat yang lain, fatwa, dan takwa. Mereka itu adalah sebagai berikut Gerakan-gerakan jihad Islam. Gerakan-gerakan dakwah dan para dai yang menyuruh kepada Allah; Pendidikan yang melahirkan tokoh-tokoh agama.; Pendidikan yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan spesialis dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan kaum muslimin; Jamaah-jamaah Islam Internasional.

Jika masyarakat Islam memiliki universitas yang mengelola masalah-masalah ini dan memang memenuhi syarat karena di situ terdapat banyak tenaga ahli yang dapat dipercaya, di samping universitas ini melaksanakan putusan fatwa yang berwawasan luas yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, maka membantu lembaga ini merupakan langkah yang paling mendekati orang yang mendekat kepada Allah menuju jalan yang hendak ditempuh.”

Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menulis, “Wajib dipelihara dalam aturan lembaga infak dan zakat bahwa sabilillah tetap mempunyai hak atasnya karena mereka memiliki suatu sasaran, yaitu berbuat untuk mengembalikan hukum Islam. Tindakan ini lebih baik (lebih penting) daripada perang karena mereka memelihara hukum Islam dari serangan orang-orang kafir. Cara lain dalam berdakwah serta membela hukum Islam apabila sulit untuk mempertahankannya dengan pedang, kekuatan, dan perang, adalah dengan lisan dan tulisan.”

Selanjutnya, beliau menulis, “Yang benar, sabilillah adalah kepentingan-kepentingan umum kaum muslimin yang menegakkan kepentingan agama dan negara, bukan pribadi-pribadi. Adapun proses perjalanan haji individu-individu (masyarakat) tidak termasuk dalam kategori ini karena haji hanya diwajibkan kepada orang-orang yang mampu saja; di samping itu, haji merupakan fardhu ain seperti halnya shalat dan puasa, bukan termasuk kepentingan-kepentingan dunia-kenegaraan.

Akan tetapi, syiar haji dan pelaksanaan umat termasuk kategori ini sehingga bisa dibiayai dari jatah sabilillah ini guna mengamankan jalur-jalur transportasi yang akan dilalui dalam perjalanan haji, menyediakan air, makanan, dan sasaran-sasaran mudik untuk para jamaah haji kalau memang tidak ada dana lain.”

Selanjutnya dia menulis, “Orang-orang yang berjuang fi sabilillah mencakup kepentingan-kepentingan syariat secara umum yang merupakan inti persoalan agama dan negara yang terpenting, yaitu mendahulukan persiapan perang dengan membeli senjata dan logistik untuk para pasukan, sarana-sarana angkutan, mempersiapkan para pejuang, dan sebagainya. Di antara langkah sabilillah yang terpenting di zaman ini adalah mempersiapkan dai dan mengirimkan mereka ke negara-negara kafir dengan dikelola oleh organisasi-organisasi yang manajemennya teratur rapi, yang memberikan dana yang cukup kepada mereka.”

Asy-Syahid Sayyid Quthb dalam Fi Zhilaalil-Qur’an menulis, “Sabilillah adalah pintu lebar yang mencakup semua kepentingan masyarakat yang ingin merealisasikan kalimat Allah. Yang paling penting di antaranya adalah mempersiapkan jihad, mempersiapkan dan melatih para sukarelawan, mengutus dai Islam, menjelaskan hukum-hukum dan syariat-syariat Islam kepada segenap manusia, mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang mendidik putra-putri Islam secara islami dan benar, sehingga kita tidak perlu menitipkan mereka di sekolah-sekolah pemerintah yang mengajarkan segala ilmu pengetahuan kecuali Islam, maupun sekolah-sekolah yang dikelola oleh para misionaris yang mengikis keimanan mereka sejak anak-anak padahal mereka tidak punya daya penangkal untuk menghadapi pendangkalan iman itu.”

Demikianlah beberapa medan jihad yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin saat ini dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sangat perlu kita bahas, di antara yang disebutkan itu, manakah yang lebih utama (afdhal), karena Islam memerintahkan kepada pengikutnya agar mencari yang lebih utama dalam membelanjakan harta ini. Said Hawwa dalam Kai Lam Namdhi menulis. Firman Allah SWT,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….,’ (Qs. Al-Baqarah: 269)

Ayat di atas diturunkan dalam konteks ayat-ayat yang memerintahkan agar berinfak yang disebut dalam surah al-Baqarah, sebab ayat ini mendahului firmanNya,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ

‘Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik….’ (Qs. Al-Baqarah: 267)

Di antara hikmah yang paling menonjol dari konteks ayat-ayat tersebut adalah meletakkan infak-infak sesuai dengan tempatnya. Itulah fenomena hikmah yang paling tinggi karena memang akan melahirkan banyak kemaslahatan dan jasa.”

Pada kenyataannya, masih banyak hartawan muslim yang kurang jeli dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sebagai contoh, banyak hartawan Timur Tengah yang jika menginfakkan hartanya kepada negara-negara miskin, hanya mau memberikannya kepada masjid ataupun madrasah dalam pembangunan fisiknya. Walaupun sudah banyak masjid dibangun bahkan dengan megahnya, namun sedikit sekali dimanfaatkan jamaah, baik untuk shalat berjamaah maupun aktivitas-aktivitas keislaman lainnya.

Semua ini tentu akibat dari ketidakmengertian, kebodohan, dan kemalasan mereka. Apalah artinya masjid megah dengan segala kelengkapannya jika tidak bermanfaat membimbing manusia menuju hidayah Islam. Apakah yang terpenting, bangunan megah sebuah masjid ataukah mendidik manusia-manusia yang akan memanfaatkannya? Membangun gedung megah itukah yang lebih afdhal ataukah membiayai pendidikan ulama dan dai yang akan mengarahkan mereka? Di sinilah hartawan muslim dituntut kejeliannya.

Mengenai masalah ini, Said Hawwa menulis dalam Kai Lam Namdhi, “Akan kami buatkan tiga ilustrasi:

potret orang yang membantu orang yang tunawicara, tunarungu, dan tunanetra;

potret orang yang membela seorang pekerja yang tidak mempunyai bahan makanan;

potret orang yang menyisihkan zakatnya untuk melahirkan seorang alim yang mengajak kepada Allah.

Tak pelak lagi, barangsiapa yang membantu yang mana pun juga dari tiga ilustrasi tersebut, dia adalah orang yang bijak dan berjasa. Akan tetapi, dari ketiga ilustrasi itu, manakah yang paling banyak hikmah dan pahalanya?

Orang yang menyeru kepada Allah dengan berbekal ilmu dan pengalaman, yang menyebabkan Allah membuka sekian banyak kalbu, akal, dan kantong manusia, akan melahirkan banyak limpahan rahmat yang hanya Allah yang mengetahuinya, kemudian menghidupi banyak keluarga, bahkan bangsa. Berkat nasihat-nasihat yang disampaikannya, banyak orang yang terdorong membayar zakat dan menerima agama Allah. Dari aspek ini dan aspek-aspek lain, jelaslah bahwa potret yang ketigalah yang paling banyak manfaat dan pahalanya.

Andaikata seseorang mengeluarkan zakatnya untuk membiayai seorang dai yang mengajak kepada Allah di suatu wilayah yang didominasi oleh kebodohan, kefasikan, kemaksiatan, dan kemurtadan, lalu si dai berhasil mengajak orang-orang tersebut dan generasi-generasinya kembali ke dalam pangkuan Islam, bukankah Anda sependapat bahwa orang-orang tersebut dan generasi-generasinya berada dalam barisan orang yang bersedekah itu? Bukankah pahala orang ini dan hikmahnya lebih besar dibandingkan saudara kita yang ada dalam potret terdahulu padahal masing-masing dari kedua orang ini telah memperbaiki usahanya?”

Selanjutnya, beliau menulis, “Ada banyak kondisi di mana kita dianjurkan untuk bersedekah dalam membangun masjid-masjid. Ada banyak kondisi yang memperbolehkan kita memberikan fatwa agar kita menyerahkan zakat/infak untuk membantu kondisi itu. Barangsiapa menyerahkan zakat kepada salah satu dari dua kondisi itu, berarti ia mendapat yang baik.

Akan tetapi, ada ukuran-ukuran syariat yang harus kita tempatkan dalam perhitungan ini, misalnya keluarga, tetangga, dan penduduk setempat didahulukan atas pihak-pihak lain; orang yang lebih rajin menjalankan kewajiban didahulukan atas yang lain; kewajiban-kewajiban yang terbengkalai harus mendapat perhatian lebih khusus; menghidupkan kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan orang didahulukan atas kepentingan-kepentingan lainnya; menegakkan kewajiban-kewajiban fardhu ‘ain dan fardhu kifayah harus mendapat perhatian khusus, dan sebagian fardhu kifayah harus didahulukan bergantung pada waktu dan tempat.

Semua itu harus dicamkan betul oleh seorang pembayar zakat ketika hendak menyerahkan zakatnya. Ketepatan menjatuhkan pilihan kepada siapa zakat dan sedekah itu akan diserahkan, merupakan salah satu fenomena kebajikan dirinya. Kalau ia tepat menyerahkannya kepada bidang yang paling bermanfaat, berarti ia berhak mendapat pahala yang paling banyak. Dalam keadaan bagaimanapun juga, ia akan mendapat pahala asalkan niatnya benar.”

Demikianlah beberapa kaidah yang perlu diperhatikan oleh para hartawan muslim dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah agar apa yang dilakukannya mendapat balasan di sisi Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk menginfakkan harta di jalan Allah harus benar-benar jeli dalam memperhitungkannya. Setiap tempat dan kondisi tertentu berbeda pelaksanaannya dengan tempat dan kondisi lainnya, sebagaimana dikemukakan Said Hawwa.

Sebagai ilustrasi, dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim terdapat banyak ulama dan sarana pendidikan Islam, namun tidak dapat berbuat banyak karena dikuasai pemerintah kuffar yang dilengkapi dengan fasilitas militer. Dalam kondisi seperti ini, membebaskan negara tersebut dari pemerintah kuffar harus diutamakan. Semua pembelanjaan harus dikerahkan ke sana, seperti melatih pasukan/tentara Islam, mempersenjatai mereka dengan segala kelengkapannya, mendidik ulama dan dai yang mengarahkan umat agar berjihad, dan memperlengkapi sarana menuju ke sana adalah lebih utama dari pekerjaan lainnya.

Apalah artinya membangun masjid besar, sarana pendidikan lengkap jika akan dipergunakan memperkuat kekuasaan pemerintah kuffar tersebut ataupun tidak dapat difungsikan sebagaimana dikehendaki Islam.

Dalam kondisi seperti ini, membelanjakan harta untuk pembebasan ini adalah lebih utama daripada yang lainnya karena pembebasan negara dari cengkeraman pemerintah kuffar adalah pintu menuju pelaksanaan ajaran Islam secara sempurna dan murni. Karenanya, membantu gerakan-gerakan Islam yang akan membebaskan bumi ini dari cengkeraman pemerintah-pemerintah kuffar dan kaki tangannya adalah pekerjaan yang sangat besar dan mulia, memiliki hikmah tertinggi di hadapan Allah. Semua usaha menuju ke arah sana harus dibantu sepenuhnya oleh hartawan muslim yang menghendaki hikmah.

Demikian pula halnya ketika umat Islam tidak memiliki ahli dalam bidang-bidang tertentu yang akan memperkuat kejayaan Islam, membelanjakan harta untuk melahirkan ahli spesialis tersebut adalah utama. Apalah artinya kelengkapan fasilitas yang dimiliki umat Islam jika tidak ada yang mengelolanya secara maksimal.

– Bersambung

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2010/02/5494/kekuatan-finansial-quwwatul-maal-bagian-ke-4/#ixzz23UAqVAKA

Sumber : Dakwatuna
 

Kekuatan Finansial (Quwwatul Maal), Bagian ke-3

B. Kebutuhan Jihad akan Harta (Ihtiyajatul Jihad)

إحتياجات الجهاد

Jihad yang sempurna dilakukan dengan jiwa, harta dan lisan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Berjihadlah kalian menghadapi kaum musyrikin (kafirin) dengan harta, jiwa dan lisan kalian. (HR. Abu Daud dan lainnya)

Itulah jihad yang sempurna dan totalitas. Namun demikian, dalam keadaan tertentu bisa saja ada sesuatu yang menghalangi orang untuk dapat berjihad secara langsung. Dalam keadaan demikian tidak berarti ia tidak mengambil bagian dalam jihad sama sekali. Ibnul Qayyim Al-Jauzi berpendapat dalam Zaadul Ma’ad bahwa apabila seseorang tidak berangkat ke medan jihad (tidak berjihad dengan jiwa)maka ia tetap wajib berjihad dengan harta.

Di antara keutamaan berjihad dengan harta adalah dicatat sebagai orang yang ikut berjihad dan merupakan shadaqah yang paling utama. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menyiapkan kendaraan perang di jalan Allah berarti ia telah ikut berperang, dan barang siapa meninggalkan perang tetapi menggantinya dengan kebaikan berarti ia pun telah ikut berperang. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).

Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengkarantina kuda perang untuk berjihad di jalan Allah, maka kenyang dan kotorannya (maksudnya segala upaya untuk mengenyangkannya dan tenaga untuk membersihkan kotorannya) akan ditimbang oleh Allah pada hari kiamat. (HR. Bukhari)

Rasmul Bayan "Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"

Hudzaifah Ibnul Yaman, yang biasa dikenal sebagai shohibussirri (intel) Rasulullah SAW, senantiasa mencemaskan hal-hal yang akan membawa kepada fitnah dan kerusakan. Dalam kaitan amar ma’ruf nahi munkar, beliau mengingatkan bahwa orang-orang yang menentang kemunkaran dengan hati, lisan dan perbuatannya adalah bentuk keimanan yang sempurna. Barang siapa menghadapi dengan hati dan lisannya tetapi tidak dengan perbuatannya maka ia telah terjatuh satu kakinya. Barang siapa menghadapi kemunkaran dengan hati dan tidak dengan lisan dan perbuatan maka sudah terjatuh kedua kakinya. Dan barang siapa menghadapi kemunkaran tidak dengan hatinya, lisannya dan perbuatannya maka ia telah menjadi mayat.

Hudzaifah menganggap orang-orang yang tidak memiliki kepedulian dalam melawan kemunkaran dan tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam penentangan terhadap kezhaliman sama dengan orang mati. Sebuah perumpamaan yang sangat tepat mengingat keberadaannya sudah tidak lagi diperhitungkan dalam barisan kaum Muslimin, wujuduhu ka adamihi (eksistensinya tidak diakui), ia telah mati sebelum ajalnya tiba. Orang-orang seperti itu kelak pada gilirannya akan digantikan oleh Allah dengan generasi yang lebih baik, sebagaimana firman-Nya:

هَاأَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allahlah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini). ( Qs. Muhammad: 38)

Seorang mukmin sejati, pantang untuk digantikan dan pantang untuk mundur dari gelanggang dakwah dan jihad fii sabilillah. Karena dengan demikian dia akan hancur dipermainkan oleh musuh-musuh Allah dalam keadaan terhina. Sebaliknya ia akan senantiasa memompa semangatnya untuk berjihad di jalan Allah dan menegakkan dakwah baik dengan hati, lisan dan perbuatannya. Laa izzataillaa bijihaadin (tidak ada kemuliaan kecuali dengan jihad).

لَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالْمُتَّقِينَ

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertaqwa. (Qs. At-Taubah: 44)

Seorang dai seyogianya menjadi titik sentral dari orang-orang yang mengikutinya. Dalam hal mobilisasi infak untuk aktivitas dakwah banyak potensi yang masih terbuka lebar tanpa harus berebut lahan. Bagaimana tidak, menurut perhitungan para ahli jika benar-benar umat ini memobilisasi dana zakat akan didapatkan dana segar sebesar 7 trilyun untuk membangun umat. Dan jika ditambah dengan infak tidak kurang dana yang terkumpul sekitar 35 trilyun rupiah. Sebuah angka yang menjadi modal bagi kebangkitan umat di masa mendatang.

Semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan kepada kita dalam meniti jalan dakwah ini betapa pun beratnya ujian yang harus dihadapi. Dan semoga Allah memberikan quwwatut tatsir pada diri kita, sehingga lebih banyak lagi orang yang tertarik kepada kita dan menyerahkan hartanya untuk penegakan dakwah dan jihad fii sabilillaah.

– Bersambung

Sumber : Dakwatuna

 

Kekuatan Finansial (Quwwatul Maal), Bagian ke-2

A. Harta itu milik Allah (Al Maalu Lillah) المال للّه

dakwatuna.com – Allah SWT adalah Dzat yang memberikan jaminan rezki kepada kita, ini menunjukkan bahwasanya Allah pun berhak mengatur peruntukan rezki yang ada pada kita. Manusia yang tidak menyadari akan hal ini menganggap bahwasanya rezki itu adalah hasil kerja kerasnya sendiri tanpa ada campur tangan Allah SWT. Perilaku ini digambarkan oleh Allah SWT ketika menceritakan tentang kepicikan Karun. Allah berfirman:

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

Karun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. (QS. Al-Qashash: 78)

Tuntutan yang dikehendaki Allah terkait dengan harta kita adalah dalam bentuk Infaq di jalan Allah SWT untuk menegakkan agama-Nya di muka bumi ini.

Dari Abu Hurairah ra. katanya, Rasulullah saw bersabda: ”Kelak bumi akan memuntahkan jantung hatinya berupa tiang-tiang emas dan perak. Maka datanglah seorang pembunuh seraya berkata: ”Karena inilah aku jadi pembunuh. Kemudian datang pula si perompak, lalu berkata: ”Karena inilah aku putuskan hubungan silaturrahim. Kemudian datang pula si pencuri seraya berkata: ”Karena inilah tanganku dipotong” Sesudah itu mereka tinggalkan saja harta kekayaan itu, tiada mereka mengambilnya sedikitpun.” (Muslim)

Pada dasarnya semua manusia menyenangi kekayaan dan harta benda. Kadangkala karena mengejar harta, didominasi hawa nafsu dan bisikan syaitan malah ada manusia yang sampai rela berbunuh-bunuhan, merampok, korupsi bahkan memutuskan silaturrahim. Dunia dicipta sebagai ujian buat manusia, siapakah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya harta dunia tidak akan membawa arti apa-apa jika tidak dimanfaatkan ke jalan yang diridhai Allah.

Hakikat harta diterangkan Rasulullah saw seperti sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

“Seorang hamba (manusia) berkata, ‘Hartaku, hartaku!’ Padahal hartanya itu sesungguhnya ada 3 jenis: (1) Apa yang dimakannya lalu habis. (2) Apa yang dipakainya lalu lusuh. (3) Apa yang disedekahnya lalu tersimpan untuk akhirat. Selain yang 3 itu, semuanya akan lenyap atau ditinggalkan kepada orang lain”. (Muslim)

Harta pada dasarnya bersifat netral. Ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia lebih sebagai ujian bagi sifat dasar manusia terhadap Allah SWT. Dengan harta itu, mampukah ia menjadi hamba yang lebih dekat kepada−Nya, atau justru menjadi budak harta yang terlena dan terpedaya olehnya. Pendek kata, ia merupakan cobaan bagi keimanan dan ketaatan hamba kepada Sang Pencipta. Firman Allah SWT:

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

”Sesungguhnya hartamu dan anak−anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At−Taghabun: 15).

Ayat di atas tidak hanya memastikan bahwa harta adalah ujian, namun juga menunjukkan sesungguhnya harta juga jenis kenikmatan duniawi lainnya seberapa pun besarnya, tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Allah. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan Allah dan tidak kekal. Tapi, yang bernilai adalah ketika harta itu bisa difungsikan dengan tepat, sesuai dengan yang Allah amanahkan. Jika demikian, maka pahala di sisi Allahlah yang menjadi balasannya.

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا

“Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar (sementara). Dan, akhirat itu lebih baik untuk orang−orang yang bertaqwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS. An−Nisaa’: 77).

Rasmul Bayan "Quwwatul Maal (Kekuatan Finansial)"

Begitulah Allah SWT menjelaskan hakikat harta dan segala kenikmatan dunia lainnya. Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu: orang kaya, orang miskin, cendekiawan, pejabat, dan bahkan agamawan. Masing−masing diuji dengan harta yang ada pada mereka.

Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam ini perlu dibangun agar harta tidak membutakan mata hati dan memalingkan manusia dari Allah SWT.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

”Hai orang−orang yang beriman, jangan sampai harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari Allah. Siapa yang terlalaikan oleh harta dan anak, maka mereka itulah orang−orang yang rugi.” (QS. Al−Munafiqun: 9).

Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah berperilaku zuhud. Zuhud adalah sikap di mana kita tidak merasa bangga, buta hati, dan terpedaya dengan harta dan segala kenikmatan dunia. Sebaliknya, kita juga tidak merasa kehilangan dan berduka ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dari kita. Allah berfirman:

لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

”Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan−Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23).

Orang yang bersikap zuhud niscaya akan selalu tenang menjalani hidup dan selalu merasa cukup dan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia tidak sombong dan terlena dengan harta karena menyadari betul ia hanyalah amanah dari Allah untuk dipergunakan dengan tepat.

Seorang sufi menyatakan, ”Kekayaan itu adalah kepuasan.” Yakni, puas dengan apa yang ada pada kita. Suburnya korupsi di negeri ini, antara lain, karena banyak dari kita yang rakus, tidak amanah, dan telah diperbudak oleh harta. Orang yang demikian tidak akan ada puasnya. Sebab, ia sudah dikendalikan oleh harta dan bukan dia yang mengendalikan harta.

- Bersambung…

Sumber : Dakwatuna
 

Kekuatan Finansial (Quwwatul Maal), Bagian ke-1

SUATU hari Abdullah bin Abbas memakai pakaian paling indah dan mahal, berharga 10.000 dirham. Beliau bermaksud mengadakan dialog dengan kaum Khawarij yang memberontak. Orang Khawarij adalah golongan yang kuat beribadah tetapi meminggirkan ilmu dan tidak mau mempelajari al-Quran, fiqih dan hadits Rasulullah SAW. Mereka terkenal sebagai kaum yang picik, fanatik, puritan dan membenci siapa saja yang berseberangan paham dengan mereka.

Abdullah bin Abbas mandi dan memakai parfum paling harum, menyikat rambutnya serta mengenakan pakaian indah dan bersih. Beliau akan berhadapan dengan orang-orang picik yang memakai baju tebal dan tambalan, muka yang berdebu serta kusut masai.

Mereka berkata, “Kamu adalah anak bapak saudara Rasulullah SAW. Mengapa kamu memakai pakaian seperti ini? Abdullah bin Abbas menjawab, “Apakah kalian lebih tahu mengenai Rasulullah SAW dibanding saya? Mereka berkata, “Tentulah kamu yang lebih tahu.” Abdullah berkata lagi, “Demi Allah yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah SAW berpakaian dengan mengenakan perhiasan berwarna merah dan itu adalah sebaik-baik perhiasan.”

Aisyah pada suatu ketika melihat sekumpulan pemuda berjalan dalam keadaan lemah, pucat dan kelihatan malas. Beliau bertanya, “Siapakah mereka itu?” Sahabat menjawab, “Mereka itu adalah kumpulan ahli ibadat.” Kemudian Aisyah berkata, “Demi Allah, yang tiada Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya Umar bin al-Khattab adalah orang yang lebih bertaqwa dan lebih takut kepada Allah dibanding mereka itu. Kalau beliau berjalan, beliau berjalan dengan cepat dan tangkas. Apabila bercakap, beliau dalam keadaan berwibawa, jelas kedengaran percakapannya dan apabila beliau memukul, pukulannya terasa sakit.”

Pemahaman picik kaum khawarij adalah akibat memahami Islam secara tidak kaaffah (menyeluruh), memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah, sampai ke tahap berlebih-lebihan dan menyusahkan diri.

Begitulah keadaan sebahagian umat Islam yang lupa kepada wasiat Rasulullah SAW yang disampaikan kepada sahabatnya, Muaz bin Jabal ketika beliau dikirim menjadi Duta dakwah ke negeri Yaman. Kata Nabi saw: “Wahai Muaz, mudahkanlah setiap urusan, jangan memberat-beratkannya.”

Apakah Islam mengajarkan untuk membenci dunia? Kalau begitu, mengapa Abu Bakar al-Siddiq berbangga dengan harta kekayaannya untuk membela agama Allah? Begitu juga dengan Abdul Rahman bin Auf dan Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan hartanya untuk membiayai jihad di jalan Allah dengan dana dari kantong mereka sendiri.

Adakah Rasulullah SAW melarang mereka bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan duniawi?

Bahkan di dalam al-Quran, Allah menegaskan bahwa jihad dalam menegakkan agama Allah wajib memiliki bekal persiapan. Firman-Nya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan apa saja dari segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan dari pasukan berkuda yang lengkap untuk menggetarkan musuh Allah dan musuh-musuhmu.” (Surah al-Anfal, ayat 60)

Bagaimanakah Islam akan menang jika umatnya adalah mereka yang berada dalam skala Negara Dunia Ketiga? Negara miskin dan terbelakang serta dikuasai oleh musuhnya. Apabila mereka hendak membeli makanan, mereka terpaksa meminta belas kasih orang lain.

Apakah zuhud itu berarti membiarkan dunia dimiliki dan dikuasai oleh musuh Allah? Sedangkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berkata: “Apabila emas seberat gunung diamanahkan kepadaku, aku tidak akan tidur selagi ia tidak habis dimanfaatkan untuk umat Islam.”

Sebagai panduan bersama, ingatlah pandangan Shaikhul Islam al-Imam Ibnu Taimiyah. Beliau berkata: “Zuhud itu adalah kamu meninggalkan perbuatan yang tidak berfaedah untuk akhiratmu.”

Harta yang halal hendaklah dipastikan dikeluarkan juga pada tempat yang halal. Jangan mencari pada sumber yang halal’ tetapi membelanjakannya pada jalan maksiat. Atau kebalikannya, mengambil dari sarang penyamun dan membelanjakannya untuk ibadat.

Itu semua bertentangan dengan perintah Allah. Orang beriman percaya harta adalah titipan dan amanah Allah, pinjaman sementara dan apabila Allah menghendaki akan lenyaplah harta itu dari tangan kita. Cukuplah harta itu ada dalam genggaman, tetapi tidak menguasai hati kita.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya mengenai seorang lelaki yang memiliki harta kekayaan sebanyak 100.000 dinar uang emas. Dapatkah dia dikatakan sebagai seorang yang zahid? Beliau menjawab: “Lelaki itu dikatakan zuhud apabila ada dua sifat: Tidak terlalu bergembira ketika hartanya bertambah; Tidak terlalu berduka-cita apabila hartanya berkurang.

Nikmatilah dunia dan segala kesenangannya tetapi pastikan harta yang dimiliki tidak menahan langkah di akhirat kelak dan melambatkan perjalanan ke pintu surga. Karena semakin banyak harta, maka dapat dipastikan semakin rumit pula hisab perhitungan yang dilakukan, kecuali harta yang halal yang dibelanjakan untuk keridhaan Allah.

Boleh jadi para koruptor dapat menutupi hasil kejahatan dari pandangan manusia. Maka bagaimana dengan pengadilan Allah di akhirat kelak? Dapatkah mereka menyembunyikan hasil kejahatan mereka?

Islam menggalakkan umatnya bekerja sungguh-sungguh untuk meraih keuntungan duniawi. Semua kekayaan yang dianugerahkan Allah hendaklah dibelanjakan di jalan Allah. Rasulullah saw berpesan agar umat Islam tidak memberatkan masalah ibadat yang sebenarnya mudah dilakukan, sampai pada tahap berlebih-lebihan sehingga menyusahkan diri sendiri. Islam menghendaki umatnya kaya dengan harta benda agar tidak ditindas karena kemiskinan hanya membuat kita terus menjadi bangsa yang selalu mengemis mencari bantuan asing.

Allah telah mewajibkan jihad secara tegas kepada setiap Muslim. Tidak ada alasan bagi orang Islam untuk meninggalkan kewajiban ini. Islam mendorong umatnya untuk berjihad dan melipat gandakan pahala orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya apalagi yang mati syahid.

Jihad pun dapat dilakukan dengan harta benda (amwaal). Yaitu dengan zakat, infak, shadaqah, mengorbankan harta untuk membangun sarana pendidikan, sarana ekonomi, sarana kesehatan, dan lain-lain yang bertujuan untuk membangun kekuatan umat. Hal ini ditegaskan pada dalam surat Al Anfal ayat 60:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Dalam ayat tersebut Allah menegaskan agar kaum muslimin senantiasa melakukan berbagai persiapan (baca: tidak asal-asalan) untuk menghadapi setiap upaya konspirasi kebatilan yang dijalankan oleh musuh-musuh Allah. Persiapan-persiapan tersebut hendaklah bersifat menyeluruh dengan mencakup semua lini kekuatan dan aspek kehidupan umat.

Sudah saatnya Islam melaksanakan jihad secara terencana dan terorganisasi, dan bukan semata-mata mengandalkan emosi. Jihad yang terorganisasilah yang akan dapat menggentarkan musuh-musuh Allah.

Kita semua paham bahwa ada 5 (lima) kekuatan yang harus dimiliki kembali oleh umat Islam kalau kita mau maju. Kekuatan tersebut adalah kekuatan iman, kekuatan ilmu, kekuatan persaudaraan, kekuatan harta dan kekuatan angkatan perang. Seluruh kekuatan ini ternyata memang ada dalam masyarakat Rasulullah. Kita akan membahas satu kekuatan yang dapat kita jadikan pelajaran dalam pembinaan umat ini, yaitu kekuatan harta (Quwwatul Maal).

- bersambung

 

Teladan di Jalan Dakwah

Al-Qudwah atau yang disebut dengan kata Al-Uswah bermakna contoh atau teladan. Kalimat yang tidak asing di telinga kaum muslimin apalagi bagi para aktifis dakwah. Al-Qqudwah merupakan dharuriyyatul hayat (keniscayaan) bagi kehidupan alam semesta, sebelum menjadi dharuriyyatul-Islam dan dharuriyyatud-dakwah.

Setiap makhluk menirukan apa yang dilakukan oleh para pendahulunya. Secara zhahir hal ini bisa kita fahami sebagai buah keteladanan, di samping kita meyakini ada hidayah[1] Allah bagi mereka. Anak kambing mengikuti induknya memakan rumput, anak kerbau ikut berkubang di dalam lumpur menirukan induknya, dst.

Di dalam Islam keteladanan itu menjadi sangat penting. Allah swt menjadikan Rasulullah Muhammad saw sebagai teladan bagi kaum muslimin.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” QS. Al Ahzab.

Dalam beberapa hal Rasulullah saw mengharuskan umatnya untuk menirukan apa yang dilakukannya, antara lain:

وَعَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :

{ صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي } رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Dari Malik Ibnu Al Huwairits ra berkata. Rasulullah saw bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” Al-Bukhari

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -: أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: “خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ” رَوَاهُ أَحْمَدُ ومُسْلِمٌ وَالنَّسَائِيُّ

Dari Jabir bin Abdullah ra bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Ambillah dariku manasik (haji) kalian.” Ahmad, Muslim, dan An Nasa’i

Dan banyak lagi dalil-dalil yang menegaskan bahwa keteladanan adalah bagian penting dari ajaran Islam.

Dalam konteks berjamaah atau berorganisasi, keteladanan menjadi sangat penting lagi peranannya. Kekuatan berjamaah berada pada kerjasama harmonis imam dan makmum, kerjasama yang dibangun berdasarkan keteladanan.

Shalat berjamaah bisa berjalan dengan baik ketika hubungan keteladanan itu berjalan dengan harmonis. Makmum dengan tulus mengikuti imamnya dan imam dengan penuh perhatian memimpin makmumnya menjalankan shalat.

Rasulullah menegaskan kepada makmum untuk mengikuti contoh imamnya.

إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُون موطأ مالك – (ج 1 / ص 394)

”Sesungguhnya imam itu ditunjuk untuk diikuti, jika imam shalat dengan bediri maka shalatlah kamu dengan berdiri, dan jika imam ruku’ maka ruku’lah kamu, dan jika ia bangun maka bangunlah kamu, dan jika ia membaca ”Sami’allahu liman hamidah” maka bacalah: Rabbana walakalhamdu. Dan jika imam shalat dengan duduk maka shalatlah kalian dengan duduk semua.” Muwaththa’ Malik

Demikian juga Rasulullah menegur imam yang tidak memahami keadaan riil makmumnya.

إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَأَيُّكُمْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهُمُ الْكَبِيرَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ عَنِ ابْنِ أَبِى عُمَرَ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ.

“Sesungguhnya di antara kalian ada yang menjauhkan (dari Islam), maka siapa saja yang mengimami (shalat) kaum muslimin hendaklah meringankan. Karena di sana ada orang tua, sakit dan yang punya hajat.” Muslim, dari Ibnu Abi Umar, dari Sufyan bin Uyainah

Ikhwah fillah rahimakumullah.

Para dai adalah qudwah, terutama bagi orang-orang bertaqwa. Inilah doa dan harapan Ibadurrahman (hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang) yang dijanjikan surga di akhirat kelak.

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” Al Furqan.

Ia perbaiki dirinya untuk bisa menjadi teladan bagi isteri dan anak-anaknya. Ia perbaiki keluarganya untuk dapat menjadi teladan bagi orang-orang bertaqwa di sekelilingnya.

Bukan sembarang keteladanan yang dicontohkan, tetapi teladan yang bisa diikuti orang-orang bertaqwa yang mengharapkan janji Allah, meyakini akhirat, dan banyak mengingat Allah.

Inilah fokus keteladanan yang sangat diharapkan di jalan dakwah. Keteladan untuk mengantarkan orang memperoleh janji Allah. Keteladanan untuk mendapatkan akhirat yang baik. Keteladanan untuk senantiasa mengingat Allah.

Dari itulah Allah tegaskan keteladanan Rasulullah saw dengan sebutan USWATUN HASANAH, bukan sekedar uswah. Sebab jika keteladanan yang ditampilkan tidak bernilai kebaikan atau bahkan membuat orang jauh dari kebaikan, justru akan menjadi investasi dosa seperti dalam hadits Rasulullah saw.

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ صحيح مسلم – (ج 6 / ص 342)

“Barang siapa yang memulai kebaikan dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan di belakangnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang memulai keburukan dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya, dan dosa para pengamal sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” Muslim.

Ikhwah fillah rahimakumullah.

Dari itulah para dai harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi, untuk mencontohkan apa yang menjadi kebaikan umat menggapai akhirat, dan menjauhkan diri dari semua sikap dan tindakan yang membuat umat tidak berharap kepada Allah, mengganggu iman mereka kepada negeri akhirat, dan mengurangi dzikir mereka kepada Allah.

Inilah kewajiban mendasar para dai, mencontohkan gaya hidup untuk menggapai kebahagiaan akhirat, karena hal ini tidak bisa dicontohkan oleh siapapun selain para dai. Wanahnu du’atun qabla kulli sya’in (dan kita adalah para dai sebelum berpredikat apapun). Berbeda dengan tujuan dunia, siapapun bisa menjadi contoh tanpa harus menjadi dai.

Materi tarbiyah kita tidak akan efektif merubah keadaan jika tidak diaktualkan dalam kehidupan keseharian. Dan aktualisasi materi-materi tarbiyah itu tidak akan efektif tanpa adanya keteladanan yang baik dari setiap kader dakwah di semua level sosial.

Allah swt menghadirkan sosok Nabi Ibrahim dan kaumnya dalam mengaktualkan nilai-nilai keimanan:

4. Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” QS. Al Mumtahanah

6. Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. QS. Al Mumtahanah

Allah swt mencela orang yang banyak berbicara tapi tidak menjadi amalan nyata:

2. Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?

3. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. QS. Ash Shaff

44. mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? QS. Al Baqarah

Abu Utsman Al Hairi (seorang ulama zuhud) mengatakan:

فِعْلٌ مِنْ حَكِيْمٍ فِي ألْفِ رَجُلٍ أنْفَعُ مِنْ مَوْعِظَةِ ألْفِ رَجُلٍ فِي رَجُلٍ

”Satu contoh perbuatan dari seorang bijak untuk seribu orang lebih efektif dari pada nasehat seribu orang untuk satu orang”.

Ikhwah fillah rahimakumullah,

Ada beberapa situasi yang kami perhatikan sangat membutuhkan keteladanan orang lain, yaitu:

  • Ketika hendak mengamalkan teori yang telah ia pelajari,

Betapa sulitnya mengerjakan shalat –meskipun telah mengetahuinya teorinya dengan baik- jika tidak ada contoh teladan nyata. Inilah tabiat semua ilmu amaliah, tidak cukup dengan kumpulan teori, tetapi lebih efektif dengan contoh teladan. Dan kita telah sepakat untuk meyakini dan mengatakan bahwa Islam adalah agama amal, tidak sekedar ilmu, dakwah ini adalah amal, bukan sekedar materi. Imam Hasan Al-Banna memberikan salah satu sub judul risalahnya:

هَلْ نَحْنُ قَوْمٌ عَمَلِيُّوْنَ ؟

Apakah kita kaum pengamal?[2]

Betapa banyak materi tarbiyah yang dahulu hanya ada di white board, sekarang harus riil dalam kehidupan. Maka sangat dicari siapa yang bisa menjadi teladan rasmul bayan itu dalam kehidupan.

  • Ketika berada dalam kebimbangan

Ketika seseorang berada dalam kebimbangan ilmu yang dimiliki, jalan yang hendak di tempuh, sikap yang harus dilakukan, dst, sangat membutuhkan keteladanan dari orang lain yang dipercaya. Teladan dari orang yang dipercaya dapat merubah ilmu yang telah dimiliki sebelumnya. Alangkah bahayanya jika ia mendapatkan contoh yang salah dari orang yang dipercayainya.

  • Ketika berada dalam tekanan dan situasi yang tidak menyenangkan

Dalam situasi yang tidak menyenangkan seseorang sangat membutuhkan teman, terutama teladan. Al-Qur’an banyak sekali menerangkan hal ini. Ketika Rasulullah didustakan oleh kaumnya, Allah sampaikan bahwa para Rasul terdahulu juga didustakan.[3]Ketika bersedih ditinggal wafat Khadijah dan Abu Thalib yang menjadi salah satu benteng dakwah, Rasulullah bersedih, hingga tahun itu disebut ’amul huzni (tahun duka), Allah kisahkan Nabi Yusuf yang dibuang oleh saudara-saudaranya.

Ketika kaum muslimin menghadapi serangan tentara ahzab (koalisi kafir-yahudi-musyrikin Arab), di musim dingin mencekam, stok makanan menipis. Situasi yang disikapi oleh sebagian orang dengan penyesalan ingin kembali ke padalaman Arab –tidak di Madinah-[4], situasi yang disesali dan dipertanyakan oleh kaum munafiq[5]. Ketegangan suasana itu justru menjadi penguat dan penambah iman bagi para sahabat setelah menemukan keteladanan pada diri Rasulullah saw.

21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

22. dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.

23. di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya), QS. Al Ahzab

Dakwah hari ini adalah aktualisasi materi tarbiyah di masa lalu, pengalaman baru, sering berada di persimpangan, dan sering menjadi musuh bersama di medan juang. Maka keteladanan menjadi keniscayaan agar kader dakwah tidak berubah jati diri, militansi, dan harapan mulia.Wallahu a’lam.


[1] QS. Al A’la, ayat: 3. ”dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,”

[2] risalah Muhimmatul Muslim. Majmu’ Rasail, Hasan Al Banna,

[3] QS. Al An’am, ayat 34

[4] QS. Al Ahzab, ayat 20

[5] QS. Al Ahzab, ayat 12-15

 

Fiqh Ghazawat (Strategi Perang)

Tanpa kita sadari “As-Shira’ bainal haq wal bathil”, pertarungan antara al-Hak dan batil terus berlangsung di tengah-tengah kehidupan kita. Persoalannya yang penting bagi kita adalah, sejauh mana kita berada dalam barisan yang hak dan memenangkan pertarungan melawan yang batil tersebut. Untuk memenangkan pertarungan ikhwah fillah, kita perlu menata dan memenej dengan baik “al-haq” yang kita perjuangkan, sebab tanpa itu semua kita akan mudah digilas dan dikalahkan dengan manuver-manuver kebatilan yang ditata dan dimenej dengan baik, sebagaimana kata Imam Ali RA : “Al-Haqqu bilaa nizhaamin yaghlibuhul Bathil binizhaamin”.

Al-Haq dalam pengertian yang luas bila terus diperkuat dan dikembangkan, akan mampu menggeser kebatilan di segala bidang. Untuk memperkuat dan mengembangkan al-Haq agar semakin eksis dan aplikatif dalam kehidupan ini tentunya memerlukan sarana. Sarana itu adalah “dakwah” itu sendiri. Oleh karena itu dakwah harus selalu dipahami dalam konteknya sebagai refresentasi Al-Haq yang bertarung melawan kebatilan. Sehingga berdakwah dalam arti luas sesungguhnya dapat juga diartikan dengan berperang. Berperang merebut pengaruh dan dukungan, berperang untuk menguasai sektor-sektor kebijakan publik yang nantinya diharapkan mengkapitalisasi potensi dan kekuatan dakwah di segala bidang, serta memperbanyak program-program kebaikan (Amar Ma’ruf) di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan meminimalisasi program-program kemunkaran (Nahi Munkar) yang berpotensi merusak tatanan nilai kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, orientasi dakwah tidak cukup hanya memasyarakat (Mihwar Sya’by), tetapi orientasi dakwah juga harus menegara (Mihwar daulah). Untuk itu diperlukan “strategic of war”, strategi perang untuk memenangkan dakwah ini. Bila kita renungkan Ikhwah Fillah!, Rasulullah SAW sebelum terjun melewati peperangan yang sesungguhnya telah mengawali aksi dakwahnya dengan pendekatan strategi perang. Perang untuk menguasai individu-individu yang penting dan potensial bagi kapitalisasi dakwah ke depan. Misalnya Pola rekrutmen yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam dakwahnya adalah pola pendekatan yang segmentatif, dari kalangan segmen wanita Rasulullah berhasil merekrut isterinya Khadijah RA, dari kalangan pria dewasa khususnya saudagar beliau berhasil merekrut Abu Bakar RA, dari kalangan kaum dhuafa dan hamba sahaya berhasil direkrut Zaid bin HAritsah dan dari kalangan anak-anak dan remaja Ali bin Abi Thalib RA. Masing-masing segmen kemudian menjadi bertambah panjang rangkaian gerbong dan penumpangnya, karena proses dakwah dan rekrutmen terus berjalan pada masing-masing segmen tersebut.

Dalam kontek jihad siyasi menuju mihwar daulah sekarang ini, juga amat penting bagi kita untuk merekonstruksi strategi perang yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, artinya harus ada dari kita ikhwah fillah, yang memfokuskan dakwahnya untuk segmen dan kalangan tertentu, harus ada di antara kita yang berdakwah di kalangan pengusaha, birokrat, pelajar, dosen, mahasiswa, buruh, petani, pedagang dan sya’biyah ‘aammah. Semakin banyak segmen yang dapat direkrut dan dikelola, maka akan semakin banyak simpul massa yang bisa di raih untuk meningkatkan potensi dan dukungan bagi dakwah ini.

Dalam strategi perang yang terpenting adalah menguasai sumber-sumber kekuatan, yang dapat menambah kekuatan kita dan mengurangi kekuatan lawan. Oleh karena itu Habab bin Mundzir RA penasehat militer Rasulullah SAW mengusulkan agar pasukan kaum muslimin dalam perang Badar segera mendekat ke sumber air sebelum pasukan Quraisy mengambil posisi tersebut. Dalam konteks jihad siyasi kita sekarang ini juga di perlukan penguasaan sumber, di antara sumber yang penting untuk dikuasai adalah media dan sarana informasi lainnya, juga sumber-sumber yang dapat mendatangkan pengaruh, seperti public figure, simpul massa dan vote getter. Semakin banyak hal itu dikuasai, semakin banyak sumber-sumber kekuatan yang dapat membantu kelancaran dakwah, dan semakin membuat dakwah memiliki kekuatan untuk memuluskan jalan al-Haq dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Fiqhul ghazawat, tidak hanya terkait dengan kecamuk nya perang, tetapi juga terkait dengan kepiawaian diplomasi dan memperlihatkan Performa di mata lawan, oleh sebab itu Rasulullah SAW membawa serta 80 kaum Musyrikin Bani Khuza’ah lengkap dengan hewan-hewan kurban yang akan disembelih, ketika beliau dan kaum Muslimin menuju Mekah untuk melakukan umrah. Peristiwa inilah yang mengantarkan kaum Muslimin kepada perjanjian Hudaibiyah yang kemudian membuat dakwah semakin leluasa dan bebas bergerak. Diplomasi dan Performa damai yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW menegaskan kepada elit pimpinan Quraisy bahwa Islam datang dengan misi social charity untuk kemanusiaan. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak kedatangan Nabi dan kaum Muslimin. Nah, misi itu pulalah yang juga harus ditonjolkan oleh dakwah ini, bagaimana meyakinkan para pemimpin baik di tingkat nasional maupun internasional untuk tidak mencurigai dakwah ini dan tidak ada alas an bagi mereka untuk menentang dan menolaknya. Untuk itu ikhwah fillah, kita harus banyak melakukan pendekatan, kalau perlu mengundang mereka untuk hadir pada even-even besar yang diselenggarakan. Mengundang tokoh nasional khususnya kalangan tokoh partai Nasionalis-Sekuler, bahkan tokoh internasional baik kalangan Muslim dan non muslimnya akan sangat membantu menumbuhkan kesan pergaulan nasional dan internasional yang baik dan imej inklusif tas dakwah ini,

Di situlah kesempatan besar untuk memperkenalkan kepada mereka, sebatas yang diperlukan, apa dakwah ini, apa misi besarnya, dan bagaimana pandangan dakwah dalam membangun solusi dari problematika yang dihadapi dunia dewasa ini. Bila mereka mengenali dakwah dengan baik maka insya Allah mereka tidak akan mudah begitu saja memusuhi dakwah. “Al- Insaanu ‘aduwwun bimaa jahula”, manusia cenderung memusuhi sesuatu yang tidak diketahuinya”. Demikian kata Imam Ghazali rahimahullah.

Strategi menampakkan kekuatan di mata lawan juga sangat penting kaitannya dengan strategi perang, oleh sebab itu pasca perjanjian Hudaibiyah Rasulullah SAW mengirim ekspedisi ke Mu’tah wilayah koloni Romawi, di satu sisi memanfaatkan gencatan senjata dan perdamaian untuk memperluas pengaruh dakwah, di sisi lain untuk show of force kepada kabilah-kabilah Arab, bahwa kekuatan kaum Muslimin tidak dapat diremehkan begitu saja, tidak pernah sejarahnya bangsa Arab berperang dengan Romawi, tetapi Rasulullah SAW bersama kaum Muslimin telah memulainya, beliau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh bangsa Arab sebelumnya, hal ini semakin menunjukkan imej kekuatan umat Islam di kalangan bangsa Arab, khususnya kaum kafir Quraisy.


Nu’man bin Muqarrin RA, panglima perang kaum Muslimin ketika berperang melawan Persia di Nahawand, dengan jumlah pasukan yang jauh tidak seimbang, di mana pasukan kaum Muslimin jauh lebih sedikit ketimbang jumlah pasukan Persia. Num’an bin Muqarrin dengan kecerdasan intelegensianya segera memberikan komando serentak kepada pasukan, pada saat musuh telah tampak dari kajauhan, strategi agar kaum Muslimin kelihatan banyak dan bermilitansi tinggi, maka dibuatlah komando serentak melalui aba-aba takbir serentak secara berbarengan. Takbir pertama, seluruh pasukan kaum Muslimin bersiap-siap di samping kendaraan tunggangannya, takbir kedua mereka serempak menurunkan peralatan dan perlengkapan tenda nya, takbir ketiga mereka serentak mendirikan kemahnya dalam waktu yang sangat cepat. Hal ini menimbulkan ketakutan di kalangan pasukan Persia, setiap mereka mendengarkan gemuruh takbir membahana di tengah pasukan kaum Muslimin.

Demikianlah ikhwah fillah, pentingnya membangun image sebagai sebuah strategi memenangkan pertarungan, strategi membangun image ini tidak hanya dibutuhkan pada konteks jihad askary, tetapi juga jihad siyasi. Intinya adalah bagaimana kita dapat bermain cantik, smooth dan efektif dalam memenangkan pertarungan antara al-haq dan al-bathil, sebagaimana pesan salah seorang ashabul Kahfi :

“Dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi ; 19) Wallahu A’lamu Bisshawab


Sumber : Dakwatuna

 

Perang Pemikiran (Ghazwul Fikri), Bagian ke-2

Jika kita melihat pada kehebatan umat Islam saat itu, lalu mengapa saat ini umat Islam justru mengalami anti klimaks yang sangat merugikan umat Islam itu sendiri. Ini bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, apalagi mempermasalahkan Allah SWT dengan mengatakan bahwa ini adalah takdir. Oleh karena itu penting sekali kita mencoba mengevaluasi, merenungkan, mencari sebab-sebab apa sajakah yang mengakibatkan kemunduran kaum muslimin ini. Para ulama berhasil menemukan dan merumuskan sebab-sebab kemunduran kaum muslimin ini ditinjau dari 2 faktor.

2. Faktor Eksternal

a. Berasal dari musuh utama umat manusia yaitu syaitan dan iblis.

Kecemburuan iblis terhadap Adam sangat besar sekali dan dia tidak suka dengan prestasi dan kelebihan yang telah Allah berikan kepada Adam as. Ketika Adam dan istrinya diperintahkan oleh Allah untuk menempati surga dengan fasilitas yang mewah dan sempurna. Makanlah sesuai dengan kehendakmu tetapi Allah menguji Adam dan janganlah engkau dekati pohon ini, lalu kamu nanti termasuk orang-orang yang zhalim. Saat itulah kesempatan syaitan masuk untuk melakukan sebuah proses untuk menyesatkan Adam dengan cara was-was memberikan ide yang membuat Adam ragu dengan targetnya adalah agar kehormatan keduanya itu terlepas.

Di antara bentuk penyesatan yang dilakukan oleh syaitan juga adalah pembentukan opini. Kata syaitan, tidaklah Tuhan kamu berdua melarang kamu dari pohon ini kecuali kamu bakal menjadi malaikat atau kamu akan termasuk orang-orang yang kekal. Keduanya akhirnya terjebak tertipu oleh rayuan iblis itu. Target yang dikehendaki iblis itupun terwujud. Kemudian nabi Adam dan istrinya memetiki dedaunan surga untuk dibuat pakaian untuk menutupi kehormatan. Saat itulah Allah memanggil keduanya, bukanlah Aku larang kalian berdua dari pohon itu dan Aku katakan bahwa syaitan adalah musuh yang nyata. Ini merupakan akar ghazwul fikri, bahwa syaitan itu merupakan pengganggu pertama untuk senantiasa menciptakan opini yang menyesatkan dan dia pun mencoba mendidik syaitan-syaitan di kalangan manusia untuk menyesatkan manusia dengan cara seperti itu. Dan perlu dipastikan bahwa kemampuan syaitan hanya sebatas memberikan ide dan gagasan, mengajak dan propaganda, tidak lebih dari itu. Seperti dalam surat 14 ayat 22, bagaimana pengakuan syaitan kelak di hari kiamat, syaitan hanya mengajak dan Allah telah memberikan peringatan.

b. Adanya pertempuran antara haq dan bathil yaitu keimanan dan kekufuran.

Salah satu pelajaran berharga bagi umat Islam adalah “Perang Salib”, yang menggunakan berbagai dimensi pertempuran, politik, ekonomi, dan perang di tataran keagamaan. Musuh-musuh Islam menggunakan berbagai macam cara, mereka itu dari berbagai macam kelompok yaitu orang-orang yang tidak beragama, atheis, Yahudi, musyrikin, nasrani dan munafik. Ulama menyatakan: apapun jenisnya kekufuran itu merupakan satu pokok ajaran. Mereka bersatu padu untuk membangun satu kesepakatan dan konspirasi yang selanjutnya mereka menggunakan berbagai macam sarana:
Sarana informasi, ide, dan gagasan pemikiran sampai kepada tingkat pemojokan, istilah saja yang memojokkan umat Islam sudah cukup banyak, contoh: fundamentalisme.
Berbagai macam cetakan, buku, majalah, media cetak, dikuasai oleh mereka.
Berusaha membangun image yang mewah dalam kehidupan ini, berbagai kemewahan senantiasa ditawarkan dalam kehidupan manusia sehingga kita semakin cinta dunia dan melupakan akhirat.
Berbagai klub, organisasi, kelompok-kelompok, diciptakan dengan berbagai aspek dan dimensi terutama dalam bidang entertainment, termasuk juga olahraga yang seharusnya untuk menyehatkan fisik, kini telah disulap menjadi komoditi yang menyita berbagai macam perhatian manusia. Bahkan banyak di antara manusia yang berani mengorbankan puluhan juta, ratusan bahkan milyaran rupiah demi hobi dalam olahraga, contoh: golf, automotif. Walau semua olahraga, tetapi kalau hampir menyita kekayaan manusia sementara meninggalkan aspek-aspek yang sangat prioritas dalam kehidupan manusia yaitu membantu kesejahteraan orang-orang yang miskin yang sudah dilupakan.

Pada akhirnya dengan seluruh sarana itu umat Islam digiring menjadi kelompok yang tertindas, kelompok yang selanjutnya mereka dengan sangat gampang dijadikan sebagai kelompok bawah. Pada saat umat ini merasakan titik bawah dalam kehidupan, kehilangan kepercayaan diri, saat itulah mereka punya peluang untuk dimurtadkan sehingga untuk menjadi orang-orang yang murtad. Perang pemikiran ternyata merupakan langkah pertama yang utama dalam pertempuran antara haq dan bathil. Oleh karena itu umat Islam penting untuk mengantisipasi yang pertama kali dengan kecerdasan intelektual. Banyak teori-teori sekarang ini yang menjauh dari nilai-nilai Islam, teori yang terkait dengan kemanusiaan, seperti ekonomi politik, sosial budaya atau psikologi. Karena kita tidak memiliki kekuatan prinsip nilai-nilai Islam, tidak memiliki paradigma teori yang bersumberkan dari Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw, pada akhirnya kita semua mengikuti seluruh teori-teori itu tanpa sedikit pun kita menyeleksi, akibatnya persepsi kita berubah. Cara berfikir kita juga berubah, umat Islam tidak lagi mencerminkan cara berfikir yang islami, sehingga emosi umat Islam pun tidak memiliki emosi yang islami.

Al Ghazwul fikri banyak sekali aspeknya dan itu bisa dibaca dan dikembangkan nanti dalam sejumlah buku. Karena orang-orang sangat menekuni aspek ini sehingga lahirlah apa yang disebut Al Musytasyrikun (kelompok orientalis) sampai di antara mereka dalam proses ghazwul fikri menghafal Al Qur’an, mempelajari sejumlah hadits-hadits nabi saw, bahkan menghafal ribuan hadits. Mereka bukan saja menghafal Al Qur’an juga menguasai tafsir-tafsir Al Qur’anul karim. Bertahun-tahun mereka belajar, kursus bahasa Arab, hanya karena untuk melicinkan kemenangan mereka di tataran pemikiran ini. Kalau sudah itu yang terjadi apalagi alasan umat Islam untuk tidak mendalami nilai-nilai Islam.

Seharusnya kitalah yang memiliki kemampuan serta keinginan kuat seperti itu. Semakin kita memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalam Al Qur’an, semakin kita dekat dengan Kitabullah dan sunnah Rasul saw, untuk prinsip-prinsip itu akan kembali kita kuasai. Pada akhirnya kepercayaan diri umat ini akan mengangkat diri kita tidak lagi merasa menjadi orang-orang yang lemah. Tetapi kita berhasil bangkit dengan keunggulan dan kompetensi yang kita miliki. Kelebihan-kelebihan yang telah Allah anugerahi dengan anugerah Al Qur’an dan sunnah Rasulullah saw, pada saat itulah kita akan menghadapi berbagai jenis pertempuran apapun yang direkayasa dan direncanakan orang lain. Umat ini akan siap menghadapi dengan sebenar-benar siap. Insya Allah. []

– Tamat


Sumber : Dakwatuna

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Materi Tarbiyah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger